PELAJARAN ADALAH KEHIDUPAN, HIDUP UNTUK BELAJAR DAN BELAJAR UNTUK KEHIDUPAN

Jumat, 01 November 2013

Ketika Ku Bahagia

“ Di atas bumi ini kuberpijak….

pada jiwa yang tenang di hariku

tak pernah ada duka yang terlintas

ku bahagia…na na na na…..”

Lagu Ku Bahagia (Melly Goeslow) telah turut mewarnai suasana pagi yang cerah hari ini. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Rintik air yang jatuh membasahi tanah di halaman rumahku, hanya menambah kesejukan mata dan hati.

Barangkali kabar-kabar gembira yang berdatangan itulah yang cukup berperan dalam menyikapi keberadaan pada sebuah ruang dan waktu.

Setelah bekerja keras selama hampir 3 minggu terakhir secara maraton, inilah saatnya sejenak kami menikmati “rasa bahagia”. Perasaan itu bahkan meluap hingga menyirami seluruh anggota keluarga tentu saja….:)

Beberapa event kembar yang kami terima job ordernya dan telah begitu menyita waktu, energi dan pikiran telah berjalan lancar, meriah, dan berkesan.

Sebuah pesan dari sahabat yang menjadi ‘leader’ event di Mambruk -Anyer event corporate saya terima tepat jam 23.30 WIB

“Bu, Alhamdulillah….Acara bagus, seru dan meriah. Pak By & Pak Cn seneng banget kita kasih kejutan kembang api….Dan si Jepang-nya janjikan kita for next event”

Yang segera saya jawab : ”Alhamdulillah….Haduh Bu.. Akhirnya ada kabar menggembirakan minggu ini… Makasih Bu….Makasih banyak. Ini dah mau balik ya? Wah sampai rumah pagi deh. TTDJ ya….”

Kali ini saya memilih absen untuk tidak menghadiri kedua event tersebut. Lebih karena keberadaan saya di rumah lebih dibutuhkan, dengan posisi siaga satu. Ditemani sebuah komputer dengan kelengkapan data, dan sebuah pesawat telepon yang bisa segera mengulurkan bantuan bila diperlukan.

Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, pesan dari sahabat saya yang lain yang menangani acara di Batu, Malang untuk grup perusahaan nasional mengirimkan pesan ”Bu…istrinya Big Boss baru saja menyalami saya. Say thanks. Acara sukses!!”

Yang disambung lagi dengan pesan lainnya ”Si Ibu tanya : EO-nya apa namanya Mas? Dimana kantornya? Masih muda-muda kok kreatif banget ya….”

Tentu saja melambung perasaan kami mendengar pujian setinggi bintang itu. Kami tak peduli, apakah itu terlalu berlebihan dari kenyataan. Namun jelas, ia mampu menyelipkan bahagia karena ”rasa dihargai”. Dan dengannya rasa lelah seperti lunas terbayar sudah.

”Subhanallah….! Alhamdulillah….Good job! Terimakasih banyak teman-temanku…. Thanks for all your best support. Thank you for everything!”

Inilah kebahagiaan seorang penyelenggara event. Tak ada yang dapat menandingi kebahagiaan dan kegembiraan pasca event selain : hasil yang sesuai dengan harapan dan menyaksikan senyuman mengembang dan rona-rona wajah bahagia dari semua pesertanya.

Demikian sebaliknya, hanya duka dan perasaan ”tak berarti” menimpa kami jika menjumpai kegagalan dan menyaksikan wajah-wajah muram sebagaimana event kami sebelumnya hanya karena ”menggampangkan” soal yang dianggap kecil namun menjadi kesalahan mayor adanya.

Di saat merasakan sebuah kesuksesan seperti ini, saya sering tersenyum mengingat berbagai kritik setajam silet yang pernah singgah di telinga kami.

Pernah suatu hari, di sebuah presentasi, kami memberikan ilustrasi dekorasi panggung dengan sketsa tangan. Buat saya yang juga hobby melukis tentu saja sketsa itu lebih dari cukup jika fungsinya hanya menjelaskan bagaimana sebuah ide kami tuangkan.

Namun apa yang terjadi??? Benar bahwa klien itu memang memutuskan kami sebagai pemenang tender corporate gathering tersebut. Namun inilah satu kalimat yang terus membekas dan terasa setajam silet hingga kini adalah :

”Maaf ya….tolong diberesin dekorasinya dalam ilustrasi yang lebih mewakili. Lebih dapet dan fresh sesuai tema kita. Sebenarnya menurut kami ilustrasi yang tadi itu sorry to say : ”JADOEL” gitu Mbak…. Saya tunggu revisinya malam ini. Atau maksimal besok pagi. Okay?”

”Bleeepp…!” Kalimat itu terasa tajam menghujam terdengar. Saya dan team saling berpandangan. Hanya anggukan dan senyum dipaksakan untuk menyanggupi saja….Tidak ada pilihan meski waktu yang diberikan terlalu singkat sebenarnya.

Di jalan, kami mengomel sekenanya. Sahut menyahut saling menimpali… Saat itu jam telah menunjuk angka 19.00 WIB.

”Jam segini kita masih di jalan….kapan kita mengerjakan revisinya? Sebenarnya ini kita sedang diuji bisa kerja cepet atau tidak begitu? Atau sedang dikerjain Bu? Dst, dll….?”

Akhirnya, salah seorang team begadang malam itu. Menuangkan desain dekorasi panggung dan area hampir semalam suntuk. Dan saat esok hari diserahkan, revisi demi revisi masih terus dilakukan.

Ketika itu, sahabat saya merasa ”tersinggung kelas berat” dianggap jadul. Tapi juga nyatanya memang kami juga belum mempunyai SDM khusus yang menangani desain.

Sebuah pesan di grup dikirimkan jam 03.00 dini hari.

“Teman-teman sekalian….Sebutan EO jadul tidak boleh terulang… Ini sungguh membuat saya tidak bisa tidur nyenyak malam ini. Saatnya kita berbenah diri. Buat kalian yang masih muda-muda tolong belajar membuat proposal yang elagan. Lengkap dengan proposal 3D dan terus belajar teknologi agar kita tidak di posisi seperti sekarang…”

Saya tersenyum getir membacanya. Tak sepatah kata pun saya tuliskan di sana. Memang benar, kritik sepedas Maicih level 10 telah kami terima. Namun seharusnya dari sanalah kami ”terpaksa” belajar dan berbenah. Kemudian ’terpaksa” menyadari bahwa kami masih ’jadul’.

”Bu Ayi….santai saja. Kita dibilang jadul toh mereka juga memilih kita kan? Dari 5 EO yang ada, mereka memberi kesempatan justru pada kita. Kenapa tuh nggak dipilih saja EO yang dari style-nya modis dan keren….! Malah milih kita yang profilenya lebih mirip ibu-ibu pengajian…wk wk wk” Demikian saya mencoba menghiburnya.

Sejak itu, memang kami bertekat untuk berbenah diri. Nekat menginvestasikan dana untuk pembelian komputer-komputer desain canggih yang akan membantu pekerjaan kami selanjutnya. Nekat untuk menjadi ibu-ibu cerewet bagi team kami yang masih muda-muda agar mereka dapat belajar keras untuk dapat menjadi team andalan di saat diperlukan.

Alhamdulillah….. ternyata kritik itu sangat berguna bagi kami di kemudian hari. Jika gelar ”EO JADOEL” tak pernah kami terima, mungkin kami akan tenang-tenang saja. Merasa sepertinya semua telah berjalan sebagaimana seharusnya. Dan perbaikan diri menjadi soal nomor dua.

Mengingat sesuatu yang menyakitkan di kala bahagia, hanya menjadikan sebuah hiburan lucu yang turut mewarnai hari ini.

Ya, bahagia ini mungkin akan berlalu esok hari. Perjuangan hari baru harus dimulai kembali.

Maka inilah sebait kata yang kusampaikan kepada Sang Pemilik waktu…

Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah penyembuh segala luka dan duka,

Rasa bahagia yang telah mengaliri hati kami adalah karenaMu,

Karena pertolonganMu, karena perkenanMu,

Segala puji bagiMu, tunjukilah kami di jalanMu..

Amien YRA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar